38 Oxley Road: Sebuah Misteri yang Tak Kunjung Usai




Di balik gerbang yang kokoh dan pepohonan tinggi yang menghalangi pandangan, terdapat sebuah rumah yang menjadi pusat perhatian banyak pihak: 38 Oxley Road. Rumah ini, yang pernah menjadi kediaman mendiang Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, telah menjadi bahan perdebatan sengit selama bertahun-tahun.
Beberapa pihak berpendapat bahwa rumah ini harus dihancurkan untuk memberikan jalan bagi perkembangan baru, sementara yang lain percaya bahwa rumah ini harus dilestarikan sebagai pengingat akan warisan dan kontribusi Lee Kuan Yew. Namun, keputusan untuk menghancurkan atau melestarikan rumah ini masih belum pasti, meninggalkan misteri yang tak kunjung usai.

Sejarah 38 Oxley Road cukup panjang dan berliku. Rumah ini dibangun pada akhir abad ke-19 oleh seorang pengusaha Yahudi bernama Manasseh Meyer. Meyer adalah salah satu pendiri Singapore Jewish Welfare Board dan merupakan tokoh terkemuka dalam komunitas Yahudi Singapura. Dia menjual rumah itu pada tahun 1940-an kepada Lee Kuan Yew, yang menjadikannya kediaman pribadinya selama lebih dari 70 tahun.
Selama masa Lee Kuan Yew, 38 Oxley Road menjadi saksi bisu banyak peristiwa penting dalam sejarah Singapura. Di rumah inilah Lee Kuan Yew mendeklarasikan kemerdekaan Singapura pada tahun 1965. Di sini pula ia membesarkan keluarganya dan menjamu banyak tamu terhormat, termasuk tokoh-tokoh dunia seperti Margaret Thatcher dan Nelson Mandela.
Setelah Lee Kuan Yew meninggal dunia pada tahun 2015, anak-anaknya mulai berselisih paham mengenai nasib 38 Oxley Road. Anak sulung Lee, Lee Hsien Loong, yang merupakan Perdana Menteri Singapura saat ini, ingin melestarikan rumah tersebut sebagai museum untuk menghormati ayahnya. Sementara itu, adik lelakinya, Lee Hsien Yang, berpendapat bahwa rumah tersebut harus dihancurkan sesuai dengan keinginan mendiang ayahnya.
Perselisihan ini telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Singapura. Ada yang mendukung Lee Hsien Loong, yang percaya bahwa rumah tersebut harus dilestarikan sebagai warisan nasional. Ada pula yang memihak Lee Hsien Yang, yang berpendapat bahwa rumah tersebut adalah milik pribadi dan harus dihormati keinginannya.
Pemerintah Singapura telah mengambil sikap netral dalam perselisihan ini, menyatakan bahwa keputusan mengenai nasib 38 Oxley Road akan diambil berdasarkan pertimbangan hukum dan faktor-faktor lainnya. Namun, tidak ada tenggat waktu yang jelas untuk keputusan tersebut, sehingga perdebatan mengenai masa depan 38 Oxley Road kemungkinan akan terus berlanjut untuk beberapa waktu mendatang.
Sementara itu, 38 Oxley Road tetap berdiri tegak di balik gerbang yang kokoh, menjadi pengingat akan seorang pemimpin besar dan pertempuran yang masih berlangsung mengenai warisannya.

Entah apa yang akan terjadi pada 38 Oxley Road pada akhirnya, rumah ini telah menjadi simbol dari perbedaan pendapat dan tarik-menarik antara ingin melestarikan masa lalu dan menatap masa depan. Keputusan mengenai nasibnya akan membentuk warisan Lee Kuan Yew dan Singapura selama bertahun-tahun yang akan datang.

Namun, di luar perdebatan mengenai masa depannya, 38 Oxley Road tetaplah sebuah tempat yang penuh dengan sejarah dan emosi. Ini adalah rumah tempat seorang pemimpin bangsa membentuk sebuah negara dan di mana sebuah keluarga berjuang untuk mengabadikan ingatan orang yang mereka cintai. Entah apa pun masa depannya, 38 Oxley Road akan selalu menjadi misteri yang tak kunjung usai.