Bayangkan suasana panas terik di siang hari, lalu tiba-tiba hujan lebat mengguyur. Kira-kira seperti itulah gambaran situasi seputar pemilihan kepala desa (KKB) di kampung kami beberapa waktu lalu.
Pesta demokrasi kecil-kecilan di kampung yang biasanya adem ayem ini tiba-tiba berubah menjadi persaingan sengit. Tiga kandidat muncul, masing-masing dengan visi dan misi yang diumbar ke sana kemari. Warga kampung jadi terpecah-pecah, mendukung kandidat yang mereka yakini bisa membawa perubahan bagi kampung.
Sang Petahana yang AmbisiusSang petahana, Pak Karto, termasuk kandidat yang paling diunggulkan. Sudah 10 tahun memimpin kampung, ia punya banyak pengalaman dan dukungan dari para tetua kampung. Sayang, belakangan ini ia mulai terlihat arogan dan kurang memperhatikan aspirasi warga.
Contohnya, ketika ada warga yang mengeluh tentang jalan kampung yang rusak, Pak Karto hanya menjawab singkat, "Sabar saja, nanti juga diperbaiki." Padahal, jalan itu sudah berlubang selama bertahun-tahun dan menyulitkan warga beraktivitas.
Penantang Muda yang EnergikPenantang Pak Karto adalah Pak Sanusi, seorang pemuda yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Walaupun masih belia, Pak Sanusi punya ide-ide segar dan semangat yang tinggi untuk membangun kampung.
Dalam kampanyenya, Pak Sanusi berjanji akan membuat kampung menjadi lebih bersih, sehat, dan sejahtera. Ia juga berencana untuk mengembangkan potensi wisata di kampung, yang selama ini belum tergarap secara maksimal.
Kuda Hitam yang Tak TerdugaKandidat ketiga, Bu Rosita, semula tidak diperhitungkan. Ia adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak punya latar belakang politik. Namun, siapa sangka, Bu Rosita punya kualitas yang membuat warga kampung terkesima.
Bu Rosita punya jiwa sosial yang tinggi dan selalu bersedia membantu warga yang kesusahan. Ia juga dikenal jujur dan tidak korupsi. Sifat-sifatnya yang baik inilah yang membuat warga kampung mulai meliriknya sebagai calon pemimpin.
Semakin dekat hari pemilihan, persaingan di antara ketiga kandidat semakin memanas. Mereka saling serang dengan berbagai isu, mulai dari soal pembangunan hingga masalah pribadi. Warga kampung pun terbawa arus, ikut-ikutan berdebat dan saling mencela.
Suasananya jadi seperti pertandingan sepak bola, di mana setiap kandidat didukung oleh suporter fanatiknya. Setiap kandidat punya kelompok pendukungnya masing-masing, yang siap pasang badan membela jagoannya.
Hari yang MenentukanAkhirnya, tiba saatnya hari pemilihan. Warga kampung berdatangan ke tempat pemungutan suara dengan antusias. Mereka ingin menentukan sendiri masa depan kampung mereka.
Proses pemungutan suara berjalan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara selesai, hasilnya sangat mengejutkan. Pak Karto sang petahana kalah telak. Pak Sanusi, penantang muda, yang berhasil merebut hati warga kampung.
RefleksiPemilihan kepala desa yang awalnya memanas itu akhirnya berakhir dengan damai. Warga kampung yang sempat terpecah belah akhirnya bisa bersatu kembali. Mereka sadar bahwa kepentingan kampung harus didahulukan di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Pemilihan kepala desa ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa dalam berdemokrasi, perbedaan pendapat dan persaingan memang tidak bisa dihindari. Namun, kita harus tetap mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persatuan.
Sebab, pada akhirnya, kita semua adalah warga kampung yang ingin hidup rukun dan sejahtera. Kita harus saling bahu membahu untuk membangun kampung kita bersama, tanpa memandang siapa yang menjadi pemimpinnya.