Palestin, Tanah Suci yang Penuh Luka




Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan melangkahkan kaki ke Palestina. Terletak di sudut Timur Tengah yang bermasalah, reputasinya yang buruk telah membuat saya takut. Namun, seiring waktu, rasa ingin tahu saya mengalahkan ketakutan saya, dan saya memutuskan untuk melihat sendiri seperti apa Tanah Suci yang dilanda konflik ini.
Saat saya tiba di Ramallah, ibu kota de facto Palestina, saya langsung terpana oleh keindahan lanskapnya yang berbukit-bukit. Udara segar pegunungan bercampur dengan aroma rempah-rempah dari pasar-pasar. Namun, di balik keindahan ini, terdapat kesedihan yang mendalam. Tembok pemisah yang menjulang tinggi, menandai batas antara Israel dan Palestina, berfungsi sebagai pengingat akan konflik yang masih terus berlangsung.
Saya mengunjungi kamp pengungsi terdekat, tempat saya bertemu dengan seorang wanita tua bernama Huda. Dia telah tinggal di kamp selama lebih dari 50 tahun, setelah diusir dari rumahnya oleh pasukan Israel. Dengan mata berkaca-kaca, dia menceritakan kisah kehilangan dan penderitaannya. Mendengar kisahnya, saya tidak bisa menahan air mata yang berlinang di mata saya.
Saya menjelajahi kota tua Yerusalem, tempat situs-situs suci dari tiga agama besar. Masjid al-Aqsa, Dome of the Rock, dan Gereja Makam Suci berdiri berdampingan, namun ketegangan antara umat Islam, Kristen, dan Yahudi dapat dirasakan di udara. Setiap batu bata, setiap jalan berbatu, bergema dengan sejarah dan konflik.
Saya mengunjungi Bethlehem, tempat kelahiran Yesus Kristus. Gereja Kelahiran yang megah menarik peziarah dari seluruh dunia. Namun, di balik dinding-dinding suci ini, ada komunitas Palestina yang hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Anak-anak bermain di jalanan yang penuh dengan puing-puing, dan wajah mereka menunjukkan tanda-tanda kesulitan yang telah mereka alami.
Di Tepi Barat, saya menyaksikan para petani Palestina berjuang untuk mempertahankan tanah mereka dari perampasan oleh pemukim Israel. Mereka menanam pohon zaitun, simbol ketahanan dan harapan. Namun, penebangan pohon-pohon ini oleh pemukim adalah pengingat akan ketidakadilan yang dihadapi oleh rakyat Palestina.
Saya bertemu dengan seorang seniman muda bernama Omar, yang menggunakan seni sebagai cara untuk mengekspresikan pengalamannya hidup di bawah pendudukan. Lukisan-lukisannya yang indah menggambarkan perjuangan dan impian rakyatnya. Bahasanya yang kuat dan simbol-simbolnya yang menghantui menyentuh hati saya.
Palestina adalah tanah yang penuh dengan kontradiksi. Ini adalah tempat keindahan dan penderitaan, harapan dan putus asa. Tanah yang didambakan oleh banyak orang, namun juga dipenuhi dengan rasa sakit dan kesedihan. Saya tidak akan pernah bisa melupakan orang-orang yang saya temui, kisah-kisah yang saya dengar, dan luka-luka yang saya saksikan.
Palestina, Tanah Suci, layak mendapatkan perdamaian dan kemakmuran. Saya berharap bahwa suatu hari nanti, konflik ini akan berakhir, dan orang-orang di bumi ini akhirnya dapat hidup dalam kebebasan dan martabat.