PPDB Riau: Proses Pendaftaran yang Menguras Emosi




Oleh: Pencari Sekolah Menengah Lanjutan

Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Riau tahun ini kembali menjadi topik hangat. Proses yang seharusnya berjalan lancar justru diwarnai dengan berbagai kendala dan drama yang menguras emosi.

Sebagai orang tua yang sedang mencari sekolah menengah lanjutan (SMA) untuk anak saya, saya telah merasakan sendiri betapa melelahkannya proses PPDB ini. Persyaratan yang berbelit-belit, jalur pendaftaran yang membingungkan, dan sistem yang sering error menjadi beberapa masalah yang dihadapi.

Jalur pendaftaran yang paling banyak diincar adalah jalur prestasi. Namun, persaingan yang ketat membuat jalur ini hanya dapat diikuti oleh segelintir siswa. Sementara itu, jalur zonasi yang seharusnya mengakomodir siswa yang berdekatan dengan sekolah juga memiliki masalah. Banyak orang tua yang mengeluhkan ketidakjelasan dalam menentukan jarak zonasi.

Belum lagi masalah teknis yang kerap menghambat proses pendaftaran online. Situs web PPDB yang sering mengalami gangguan membuat orang tua harus rela bergadang dan merelakan waktu istirahat mereka hanya untuk memastikan pendaftaran anak mereka berhasil.

Beberapa orang tua bahkan rela menyewa jasa calo untuk memastikan anak mereka mendapatkan sekolah yang diinginkan. Praktik ini tentu saja tidak dibenarkan, tetapi dapat dipahami mengingat besarnya tekanan yang dihadapi orang tua untuk mendapatkan sekolah terbaik bagi anak-anak mereka.

Proses PPDB ini tidak hanya menguras emosi orang tua, tetapi juga anak-anak mereka. Bayangkan saja, anak-anak harus menghadapi ujian-ujian tambahan demi memenuhi persyaratan pendaftaran. Belum lagi tekanan dari orang tua yang mengharapkan mereka masuk ke sekolah favorit.

Saya sangat berharap pemerintah dapat segera memperbaiki sistem PPDB ini. Proses ini seharusnya menjadi proses yang adil dan transparan, bukan menjadi ajang drama dan menguras emosi seperti yang terjadi saat ini.

Sebagai orang tua, saya sangat menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak saya. Namun, proses PPDB yang rumit dan penuh kendala ini membuat saya bertanya-tanya, apakah sistem ini benar-benar berpihak pada kepentingan siswa dan orang tua?

Saya percaya bahwa semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, terlepas dari latar belakang dan kemampuan mereka. Proses PPDB harus menjadi jembatan yang memfasilitasi hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Mari berharap ke depannya, proses PPDB di Riau akan berjalan lebih baik dan bebas dari kendala yang menguras emosi. Karena pendidikan adalah hak setiap anak, dan proses untuk mendapatkannya tidak seharusnya menjadi penderitaan.