Rapor pendidikan, lembaran kertas yang berisi nilai-nilai dan komentar guru, menjadi momok bagi banyak siswa. Tapi di balik angka-angka itu, ada cerita yang tersembunyi—kisah tentang kerja keras, dedikasi, dan terkadang, kekecewaan.
Kisah dari Sudut SiswaBagi Maya, siswa kelas 6 SD, rapor adalah sumber ketakutan. Nilai-nilainya yang selalu bagus tiba-tiba merosot drastis. Ia merasa malu dan takut mengecewakan orang tuanya.
Berbeda dengan Maya, Raka, siswa kelas 5, justru tak sabar menanti rapornya. Ia yakin prestasinya kali ini akan membuatnya bangga. Namun, saat rapor itu akhirnya datang, ia terkejut melihat nilai yang jauh dari harapannya.
Di balik angka-angka di rapor, ada guru-guru yang bekerja keras untuk mendidik dan menilai siswanya. Bagi Bu Rina, nilai rapor adalah hasil dari proses panjang belajar dan pengamatan.
Namun, Bu Rina juga menyadari keterbatasan rapor. "Nilai tidak bisa menggambarkan segalanya, seperti semangat belajar, etos kerja, atau potensi di luar akademik," katanya.
Rapor sering kali dianggap sebagai tolok ukur prestasi siswa. Padahal, nilai tidak selalu mencerminkan kemampuan sebenarnya seorang anak.
Siswa yang nilainya bagus mungkin kurang memiliki kreativitas atau kemampuan berpikir kritis. Sebaliknya, siswa yang nilainya biasa-biasa saja mungkin justru memiliki bakat yang belum terasah.
Beberapa orang berpendapat bahwa rapor justru menjadi penekan bagi siswa. Mereka takut gagal dan mengecewakan orang tua atau guru mereka.
Psikolog anak, Dr. Amelia, menyarankan agar rapor digunakan sebagai alat evaluasi yang membangun. "Fokuslah pada pencapaian anak dibandingkan dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain."
Untuk mengoptimalkan penggunaan rapor, beberapa rekomendasi dapat diberikan: