Red Spark




Oleh: [Nama Penulis]
Dalam keremangan senja, saat bintang-bintang mulai berkelap-kelip dan langit berubah warna menjadi kanvas jingga, ada secercah cahaya merah menyala di kejauhan. Cahaya itu berkedip-kedip seperti mata seorang anak yang sedang bermain petak umpet. Saya mengikutinya, penasaran dan terpesona.
Cahaya merah itu semakin dekat, dan saya menyadari bahwa itu adalah sebuah lentera. Lentera itu tergantung di bawah cabang pohon rindang, casting bayangan yang menari-nari di tanah. Saya mendekat dengan hati-hati, napas saya tertahan di dada.
Di bawah cahaya lentera, saya melihat seorang gadis kecil duduk sendirian. Dia mengenakan gaun putih sederhana, dan rambutnya yang panjang tergerai hingga bahunya. Dia sedang memeluk boneka beruang sambil berbisik padanya.
Saya berdiri di sana, ragu-ragu. Saya ingin tahu ceritanya, tetapi saya tidak ingin mengganggunya. Akhirnya, saya mengumpulkan keberanian dan bertanya, "Halo, apa kamu baik-baik saja?"
Gadis kecil itu mendongak, matanya yang besar berbinar di bawah cahaya lentera. "Ya," katanya dengan suara lembut. "Saya sedang menunggu ayah saya."
Saya duduk di sampingnya dan bertanya, "Mengapa kamu menunggunya di sini?"
"Dia pergi mencari obat untuk ibu saya," kata gadis kecil itu. "Dia berjanji akan segera kembali."
Saya bisa melihat kesedihan dan ketakutan di matanya. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya menunggu seseorang yang tidak pasti kapan akan kembali.
Kami mengobrol sebentar, dan saya mengetahui bahwa nama gadis kecil itu adalah Anya. Dia berumur lima tahun, dan ibunya sakit keras. Ayah Anya adalah petani miskin, dan mereka tidak bisa membeli obat yang dibutuhkan ibunya.
Saya merasa sangat kasihan kepada Anya. Saya ingin membantunya, tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Lalu, saya teringat bahwa saya membawa obat-obatan darurat di tas saya. Saya mengeluarkan tas saya dan memberikannya kepada Anya.
"Ini obat-obatan untuk ibumu," kataku. "Mudah-mudahan ini bisa membantu."
Anya tersenyum lebar. "Terima kasih, Kak," katanya. "Saya yakin ibuku akan segera sembuh."
Saya duduk bersama Anya sampai ayah dan ibunya muncul. Sang ayah sangat berterima kasih atas bantuan saya, dan ibu Anya memeluk saya erat.
Saat saya beranjak pergi, Anya menarik tangan saya dan berkata, "Kak, jangan lupa datang lagi. Saya akan cerita tentang ibuku."
Saya tersenyum dan mengangguk. "Saya akan datang lagi, Anya."
Cahaya merah lentera terus berkedip di kejauhan saat saya berjalan pergi. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada Anya dan keluarganya, tetapi saya berharap bahwa obat-obatan yang saya berikan dapat membantu meringankan penderitaan mereka.
Saya juga berharap bahwa Anya akan selalu mengingat pertemuan kami di bawah cahaya lentera merah. Bahwa bahkan di saat-saat tergelap, selalu ada secercah harapan.
Red spark, cahaya merah itu, menjadi simbol harapan bagi saya. Harapan bahwa bahkan dalam situasi yang paling menantang pun, selalu ada seseorang yang bersedia membantu. Harapan bahwa kebaikan dan kasih sayang dapat mengatasi kesulitan apa pun.