Syria: Sebuah Negeri yang Berlumuran Darah dan Air Mata




Di tengah hiruk pikuk kota Damaskus yang dulu ramai, kini hanya tersisa puing-puing bangunan dan derita yang tak terkira. Suriah, sebuah negeri yang pernah berjaya, kini tercabik-cabik oleh perang saudara yang tak berkesudahan.
Saya masih ingat betul bagaimana Suriah dulu. Jalan-jalannya yang ramai dengan orang-orang yang hilir mudik, pasar-pasarnya yang dipenuhi dengan suara tawar-menawar, dan masjid-masjidnya yang gagah berdiri. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan.
Perang saudara yang dimulai pada tahun 2011 telah menghancurkan semua yang dulu kita miliki. Kota-kota hancur, jutaan orang mengungsi, dan ribuan lainnya kehilangan nyawa. Yang tersisa hanyalah penderitaan yang tak berkesudahan.
Saya tidak akan pernah melupakan wajah-wajah anak-anak yang kelaparan, mata mereka yang kosong dan tubuh mereka yang lemah. Saya tidak akan pernah melupakan wanita-wanita yang telah kehilangan suami dan anak-anak mereka, jeritan mereka yang menyayat hati masih terngiang di telinga saya.
Suriah tidak lagi menjadi negeri yang kita kenal. Ini adalah tempat di mana kekejaman menjadi rutinitas, dan kematian menjadi hal biasa. Saya berdoa agar suatu hari nanti perang ini akan berakhir, dan Suriah dapat bangkit kembali dari abu.
Namun, untuk saat ini, yang bisa saya lakukan hanyalah berduka untuk negeri saya yang tercinta, dan berharap bahwa suatu hari nanti, air mata ini akan berhenti mengalir dan darah yang tumpah akan berhenti menggenangi tanah kami.